Rabu, 19 Mei 2010

Proses Internalisasi Budaya Perusahaan pada Karyawan PT. Semen Gresik (persero) Tbk. di Gedung Utama.

Penelitian ini memiliki tujuan untuk memberikan gambaran tentang kondisi budaya perusahaan yang saat ini sedang terjadi di PT. Semen Gresik (persero). Budaya perusahaan yang dimaksud dalam penelitian ini adalah Merupakan suatu sistem nilai yang dipegang dan dilakukan oleh anggota organisasi, yang dimanifestasikan dalam setiap pengaturan material dan perilaku dari setiap anggota organisasi.

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif yang mendasarkan pada proses konstruktivis. Tipe penelitian yang digunakan adalah etnografis. Metode yang digunakan dalam pengambilan data menggunakan wawancara tak terstruktur, observasi partisipatif dan penggunaan data sekunder berupa data tertulis yang ada di PT Semen Gresik (persero). Hasil analisis dari masing-masing metode dikomparasikan dan diinterpretatif menjadi satu kesatuan pemahaman tentang internalisasi budaya perusahaan yang saat ini sedang berlangsung di PT. Semen gresik.

Hasil analisis menunjukkan bahwa saat ini di PT. Semen Gresik sadang terjadi pergeseran budaya, dimana pergeseran tersebut dapat dimetaforakan dengan istilah “ndlede’ “ (bahasa jawa), dimana memiliki pemahaman penyebaran yang tak berpola, bahwa kondisi pergeseran budaya yang terjadi saat ini lebih didasari karena unconditional situation. Hal tersebut dikarenakan dalam proses internalisasi budaya perusahaan tidak terdapat satu sistem formal yang mengendalikan serta mengarahkan terbentuknya budaya perusahaan yang diinginkan.

Rancangan intervensi yang dibangun untuk mengatasi hal tersebut, adalah dengan membangun sebuah sistem manajemen budaya organisasi, atau disebut Corporate Culture Management, di mana tujuan terbentuknya Corporate Culture Management tersebut untuk memastikan bahwa budaya perusahaan yang diinternalisasikan tersebut menjadi budaya yang sehat diperusahaan.


Kata kunci: Budaya Perusahaan, Corporate Culture Management.

Langkah-langkah Pengembangan Model Kompetensi

Langkah-langkah Pengembangan Model Kompetensi

Dalam kamus Kompetensi dari LOMA (1998) dipaparkan langkah-langkah untuk mengembangkan model-model kompetensi. Langkah-langkah tersebut adalah:

1. Kenali sasaran-sasaran organisasi yang akan menjadi dasar bagi pengembangan model kompetensi

Untuk berhasil mencapai hasil yang baik dalam penerapan model kompetensi, maka perusahaan harus mempunyai alasan yang dari sisi bisnis memaksa perusahaan untuk menerapkan model ini. Alasan-alasan yang mengarahkan organisasi untuk menerapkan model ini perlu dikenali dengan baik. Dengan demikian ketika model ini diterapkan akan membantu perusahaan dalam mencapai sasaran-sasarannya. Ada beberapa langkah yang harus dilakukan dalam tahap ini, yaitu :

· Definisikan strategi organisasi

Sebuah Model kompetensi akan efektif bila diselaraskan dengan strategi, sistem nilai, dan sasaran-sasaran dari organisasi. Untuk itulah, sebelum membuat keputusan yang berkaitan dengan pengembangan model kompetensi, maka para perancang model kompetensi harus secara mendalam melakukan kajian terhadap strategi, sistem nilai, dan juga sasaran-sasaran dari perusahaan.

· Kenali cara mengaplikasikan model kompetensi

Pada langkah ini, para perancang model kompetensi harus melakukan evaluasi terhadap segala kemungkinan penggunaan model kompetensi di dalam organisasi dan menetapkan aplikasi-aplikasi yang mempunyai potensi terbesar, misalnya untuk proses rekrutmen dan seleksi atau pelatihan dan pengembangan. Untuk aplikasi pertama, sebaiknya dipilih aplikasi model kompetensi yang akan memenuhi kebutuhan mendasar dari organisasi, mudah dilaksanakan, dan yang dapat menunjukkan hasil yang cepat.

· Tetapkan “ scope” dari model

Sebuah model kompetensi dapat dikembangkan untuk sebuah pekerjaan, sekelompok pekerjaan, sebuah unit bisnis atau untuk keseluruhan organisasi. Para perancang model kompetensi harus menetapkan cakupan dari pengembangan model kompetensi di dalam organisasi. Beberapa organisasi mengembangkan “Core Competency Model” berdasarkan sasaran-sasaran organisasi yang berlaku bagi semua jabatan atau sebagian besar porsi dari pekerjaan dan kemudian menambahkan “Job Specific Competencies” pada sekelompok kecil pekerjaan

2. Merancang Rencana Untuk Membuat Model

Pada tahap ini, para perancang model kompetensi akan mengambil langkah-langkah awal untuk mengembangkan kompetensi-kompetensi yang akan dimasukkan dalam model yang akan diaplikasikan di dalam organisasi. Langkah-langkah yang dimaksud adalah sebagai berikut:

· Menentukan pihak-pihak yang harus dilibatkan dalam proses pengembangan model

Melibatkan orang-orang yang tepat dalam mengembangkan model merupakan sesuatu hal yang sangat penting. Pada umumnya orang-orang yang membantu pengembangan model adalah mereka-mereka yang pada akhirnya menggunakan model kompetensi dengan sukses. Pertimbangkanlah untuk melibatkan pihak-pihak berikut ini dalam proses pengembangan model kompetensi di perusahaan: pimpinan puncak perusahaan, para manajer yang terkait , para pemegang jabatan yang mempunyai prestasi yang sangat baik, staf Departemen SDM, dan ahli-ahli kompetensi.

· Memilih pendekatan yang tepat untuk mengenali kompetensi-kompetensi kritikal

Ada beberapa pendekatan atau metode yang dapat dipakai untuk mengenali Core Competencies atau Job Specific Competencies.

§ Untuk mengenali core competencies, metode yang paling efektif adalah dengan melakukan pertemuan dengan para pimpinan puncak perusahaan. Dalam pertemuan ini terutama dibahas secara mendalam tantangan-tantangan yang dihadapi organisasi, misi, dan juga sasaran-sasaran organisasi dan kompetensi-kompetensi inti yang diperlukan untuk menghadapi tantangan-tantangan, untuk mencapai misi dan sasaran-sasaran tersebut.

Untuk mengenali job specific competencies, dapat digunakan beberapa metode seperti : Focus Group Discussion dan survey dengan para job expert atau Behavioral Event Interview dengan para pemegang jababan , baik yang prestasinya sedang-sedang saja, maupun yang prestasinya superior.

3. Melakukan Pengumpulan Data

Setelah menetapkan pihak-pihak yang akan terlibat dalam pengembangan model kompetensi, sumber data atau informasi dan metode pengumpulan data, maka langkah selanjutnya yang harus dilakukan oleh para perancang model kompetensi adalah mengumpulkan semua data yang berkaitan dengan Core Competencies (kompetensi inti) dan Job Specific Competencies (kompetensi khusus untuk pekerjaan tertentu). Langkah-langkah yang harus dilakukan dalam pengumpulan adalah sebagai berikut:

· Mengidentifikasi Core Competencies bersama para pimpinan puncak perusahaan

Sebelum memulai pertemuan dengan para pimpinan puncak perusahaan (atau orang-orang yang mereka nominasikan), sebaiknya para perancang model kompetensi memberikan informasi yang tepat mengenai tujuan dan sasaran yang ingin dicapai dari pertemuan, dan pihak yang memfasilitasi pertemuan. Agenda yang dibicarakan dalam pertemuan sebaiknya mencakup hal-hal berikut ini:

§ Proses yang akan dilalui oleh para pimpinan puncak perusahaan dalam mengenali Core Competencies, cara pengenalan job specific competencies oleh job expert, dan kaitan penggunaan Job Specific Competencies dan Core Competencies.

§ Keputusan-keputusan tentang jenis-jenis jabatan yang harus memiliki core competencies (mis : semua pekerjaan di bawah level manajemen) dan cara aplikasi model kompetensi (mis : pengembangan karir, pelatihan, dsb-nya).

§ Kaitan antara Core Competencies dan tantangan-tantangan , misi, dan sasaran-sasaran organisasi

Konsensus tentang rangkaian Core Competencies yang akan diaplikasikan di perusahaan dan dukungan yang diperlukan untuk menerapkannya.

· Kenali Job Specific Competencies melalui job expert

§ Focus Group Discussion (FGD). Dalam proses ini data atau informasi yang luas mengenai tantangan-tantangan dan persyaratan-persyaratan jabatan dikumpulkan melalui proses diskusi yang terstruktur dengan para job expert. Dari hasil FGD ini, maka kompetensi-kompetensi yang secara jelas tidak kritikal untuk pekerjaan dapat dihilangkan lebih awal sebelum diproses lebih lanjut. Alternatif yang lain, munculnya tambahan-tambahan kompetensi, khususnya kompetensi yang sifatnya teknis.

§ Survey. Berdasarkan hasil Focus Group Discussion, sebuah survey dapat dirancang untuk disebarkan kepada sejumlah besar job expert. Isi dari survey adalah kompetensi-komptensi yang dipilih di dalam FGD. Hasil dari survey kemudian disimpulkan dan dianggap sebagai persepsi dari para pekerja tentang kompetensi-kompetensi yang dibutuhkan bagi pekerjaan yang sedang dinilai.

§ Behavioral Event Interview (BEI). Proses pengumpulan data dilakukan dengan cara wawancara secara mendalam dengan sejumlah pemegang jabatan yang mempunyai prestasi kerja rata-rata dan superior. Tujuan dari wawancara ini adalah untuk mendapatkan informasi yang lengkap mengenai cara mereka menangani situasi-situasi kritis di dalam pekerjaan mereka. Mengingat pendekatan ini memerlukan waktu yang cukup lama dan biaya yang cukup besar, maka sebaiknya digunakan hanya bila pekerjaan yang akan dibuat model kompetensinya relatif sedikit, dan organisasi dapat memperoleh interviewer yang terlatih.

4. Menganalisis Data dan Membuat Kesimpulan

Untuk melakukan analisis terhadap data-data yang diperoleh dari survey, maka para perancang model kompetensi perlu melakukan langkah-langkah berikut ini:

§ Hitunglah respon-respon yang masuk dari masing-masing kelompok pekerjaan yang model kompetensinya akan dibuat secara terpisah

§ Buatlah nilai rata-rata, nilai minimum, dan nilai maksimum dari tingkat kepentingan dan tingkat ketrampilan yang diperlukan dari masing-masing kompetensi

§ Buatlah urutan tingkat kepentingan dan tingkat ketrampilan yang dibutuhkan dari masing-masing kompetensi dari yang paling tinggi hingga paling rendah

§ Buatlah kesimpulan dari hasil analisis tersebut di atas, dalam sebuah format yang dapat dipresentasikan kepada para job expert, sebagai bahan kajian dan diskusi. Pastikan bahwa dalam kesimpulan tercakup hal-hal berikut:

§ Hitunglah respon-respon yang masuk dari masing-masing kelompok pekerjaan yang model kompetensinya akan dibuat secara terpisah

§ Buatlah nilai rata-rata, nilai minimum, dan nilai maksimum dari tingkat kepentingan dan tingkat ketrampilan yang diperlukan dari masing-masing kompetensi

§ Buatlah urutan tingkat kepentingan dan tingkat ketrampilan yang dibutuhkan dari masing-masing kompetensi mulai dari yang paling tinggi hingga paling rendah

5. Mendiskusikan dan Memfinalisasikan Model Kompetensi

Pada tahap ini langkah-langkah yang harus dilakukan adalah sebagai berikut:

§ Presentasi

Presentasikan hasil survey kepada para pengambil keputusan penting di dalam organisasi. Para pengambil keputusan penting ini adalah meliputi orang-orang yang tersebut di bawah ini :

§ Para pimpinan puncak perusahaan

§ Manajer dan staf departemen SDM yang akan mengaplikasikan model kompetensi ini

§ Para manajer yang akan menjadi pengguna model kompetensi ini

§ Mencapai kesepakatan atas bentuk model

Sasaran dari proses ini adalah untuk mencapai konsensus mengenai sebuah model bersama yang aplikatif dan didukung oleh setiap orang. Semua perbedaan substansial yang muncul harus didiskusikan secara mendalam dan diselesaikan, bila semuanya memungkinkan.

§ Membatasi jumlah kompetensi bagi setiap model

Untuk setiap model jumlah kompetensi yang sebaiknya ada adalah antara 8-10 kompetensi. Besar-kecilnya jumlah akan tergantung juga pada kompleksitas pekerjaan. Semakin kompleks pekerjaan, umumnya memerlukan kompetensi yang lebih banyak.

Selasa, 18 Mei 2010

Kita perlu menyusun Corporate Culture Management (CCM)

Dalam penerapan Corporate Culture Management tidak terlepas dari fungsi-fungsi manajemen itu sendiri, Jika dilihat dari fungsi-fungsi manajemen adalah sebagai berikut:
1. Planning
Berbagai batasan tentang planning dari yang sangat sederhana sampai dengan yang sangat rumit. Misalnya yang sederhana saja merumuskan bahwa perencanaan adalah penentuan serangkaian tindakan untuk mencapai suatu hasil yang diinginkan. Pembatasan yang terakhir merumuskan perencaan merupakan penetapan jawaban kepada enam pertanyaan berikut :
• Tindakan apa yang harus dikerjakan ?
• Apakah sebabnya tindakan itu harus dikerjakan ?
• Di manakah tindakan itu harus dikerjakan ?
• Kapankah tindakan itu harus dikerjakan ?
• Siapakah yang akan mengerjakan tindakan itu ?
• Bagaimanakah caranya melaksanakan tindakan itu ?
Menurut Stoner Planning adalah proses menetapkan sasaran dan tindakan yang perlu untuk mencapai sasaran tadi.
2. Organizing
Organizing (organisasi) adalah dua orang atau lebih yang bekerja sama dalam cara yang terstruktur untuk mencapai sasaran spesifik atau sejumlah sasaran.
3. Leading
Pekerjaan leading meliputi lima kegiatan yaitu :
• Mengambil keputusan
• Mengadakan komunikasi agar ada saling pengertian antara manajer dan bawahan.
• Memberi semangat, inspirasi, dan dorongan kepada bawahan supaya mereka bertindak.
Memilih orang-orang yang menjadi anggota kelompoknya, serta memperbaiki pengetahuan dan sikap-sikap bawahan agar mereka terampil dalam usaha mencapai tujuan yang ditetapkan.
4. Directing/Commanding
Directing atau Commanding adalah fungsi manajemen yang berhubungan dengan usaha memberi bimbingan, saran, perintah-perintah atau instruksi kepada bawahan dalam melaksanakan tugas masing-masing, agar tugas dapat dilaksanakan dengan baik dan benar-benar tertuju pada tujuan yang telah ditetapkan semula.
5. Motivating
Motivating atau pemotivasian kegiatan merupakan salah satu fungsi manajemen berupa pemberian inspirasi, semangat dan dorongan kepada bawahan, agar bawahan melakukan kegiatan secara suka rela sesuai apa yang diinginkan oleh atasan.
6. Coordinating
Coordinating atau pengkoordinasian merupakan salah satu fungsi manajemen untuk melakukan berbagai kegiatan agar tidak terjadi kekacauan, percekcokan, kekosongan kegiatan, dengan jalan menghubungkan, menyatukan dan menyelaraskan pekerjaan bawahan sehingga terdapat kerja sama yang terarahdalam upaya mencapai tujuan organisasi.
7. Controlling
Controlling atau pengawasan, sering juga disebut pengendalian adalah salah satu fungsi manajemen yang berupa mengadakan penilaian, bila perlu mengadakan koreksi sehingga apa yang dilakukan bawahan dapat diarahkan ke jalan yang benar dengan maksud dengan tujuan yang telah digariskan semula.
8. Reporting
Adalah salah satu fungsi manajemen berupa penyampaian perkembangan atau hasil kegiatan atau pemberian keterangan mengenai segala hal yang bertalian dengan tugas dan fungsi-fungsi kepada pejabat yang lebih tinggi.
9. Forecasting
Forecasting adalah meramalkan, memproyeksikan, atau mengadakan taksiran terhadap berbagai kemungkinan yang akan terjadi sebelum suatu rancana yang lebih pasti dapat dilakukan.
(sumber : http://www.w3.org/1999/xhtml)
Sehingga dari fungsi manajemen diatas jika ditarik sebuah pemaknaan Corporate Culture Management adalah upaya untuk mengidentifikasi, mentransformasi serta memonitor budaya perusahaan dengan tujuan meningkatkan kinerja ekonomi dan sosial perusahaan dalam jangka panjang. (Djokosantoso ; hal 6).
Dalam penerapan Corporate Culture Management ini memiliki tujuan untuk memastikan bahwa budaya perusahaan yang diinternalisasikan tersebut menjadi budaya yang sehat diperusahaan. Hal tersebut dilakukan dengan melakukan proses pengukuran budaya dan meletakkan pada satu norma yaitu Corporate Culture Index (CCI), sebagai acuan capaian internalisasi budaya perusahaan pada karyawan semen gresik.
Ciri Corporate Culture Management yang harus dimiliki oleh suatu perusahaan, idealnya harus memenuhi beberapa kondisi, yaitu :
1. Pengelola Corporate Culture Management harus orang-orang yang secara khusus menangani proses ini, sehingga Corporate Culture Management masuk dalam struktur formal perusahan. Hal tersebut untuk memberikan keyakinan bahwa proses Corporate Culture Management ini adalah aktivitas yang continous.
2. Harus disusun target – target yang jelas apa yang harus dicapai sebelum proses penyusunan Corporate Culture Management, sehingga langkah serta tujuan Corporate Culture Management yang hendak dicapai itu jelas.

Langkah kerja yang dilakukan Corporate Culture Management
Dalam tanggung jawab kerjanya, Corporate Culture Management memiliki tanggung jawab untuk memastikan bahwa budaya perusahaan yang dibangun itu dalam tingkatan yang sehat, artinya budaya tersebut telah terinternalisasi dengan baik kepada seluruh karyawan
Sehingga, untuk dapat mencapai budaya perusahaan yang sehat perlu disusun rangkaian aktivitas yang dilakukan secara bertahap. Aktivitas tersebut secara garis besar terdiri dari :
1. Proses pemetaan dan penyusunan Budaya Perusahaan.
2. Proses Sosialisasi Budaya Perusahaan.
3. Proses Internalisasi Budaya Perusahaan

Tahap 1. Proses Pemetaan dan Penyusunan Budaya Perusahaan
Proses pemetaan budaya ini adalah proses awal untuk mengetahui bagaimana kondisi budaya yang eksis di dalam perusahaan PT. Semen Gresik (persero) ini, hal tersebut dilakukan untuk dapat mengetahui apakah budaya yang eksis tersebut masih sejalan dengan tujuan, visi dan misi perusahaan atau tidak. Selain itu untuk memetakan kemungkinan sub culture-sub culture yang dominan yang ada di perusahaan.
Langkah yang diambil untuk melakukan pemetaan tersebut, adalah :
1. Mengidentifikasi budaya yang telah tumbuh di perusahaan.
2. Merumuskan identitas perusahaan yang merupakan sasaran pengembangan budaya di perusahaan dengan tetap memanfaatkan aspek-aspek budaya yang positif (yang perlu diperkuat) yang telah berakar di perusahaan.
3. Merumuskan struktur atau kerangka budaya perusahaan yang mengacu pada identitas yang ingin dicapai oleh perusahaan
4. Merumuskan cara dan proses pengembangan budaya perusahaan.
Dengan dilakukannya pemetaan ini, diharapkan perusahaan mendapatkan gambaran gap yang jelas tentang budaya yang sekarang ada, dengan budaya yang diharapkan. Sehingga, corporate culture management dapat merancang strategic planning dalam proses sosialisasi dan internalisasi budaya perusahaan.

Tahap 2. Proses Sosialisasi Budaya Perusahaan
Berbagai program sosialisasi budaya perusahaan perlu dirancang dan dieksekusi untuk menanamkan nilai-nilai inti. Perencanaan program-program sosialisasi perlu didasari pada pemahaman bagaimana para karyawan belajar budaya perusahaan.
Sosialisasi melibatkan proses belajar, dalam penerapan sosialisasi ini digunakan beberapa pendekatan teori pembelajaran sosial. Terdapat dua pendekatan teori yang digunakan, yaitu yang disampaikan oleh B. F. Skinner tentang “Operant Conditioning” dan oleh Albert Bandura tentang “Observational Learning”.
Terdapat beberapa hal yang perlu dipersiapkan untuk proses sosialisasi, seperti :
1. Simbol material, seragam, notes, logo.
2. Kegiatan ritual,
3. Cerita , penghargaan terhadap sukses,
4. Bahasa, motto, kredo, akronim, jargon dan istilah-istilah unik untuk situasi kerja yang baru.
Terdapat kerangka peyebaran budaya yang bisa dilakukan. dimana dijelaskan bahwa proses sosialisasi memerlukan media penyampaian bukan hanya sekedar obyek, atau benda yang digunakan untuk sarana sosialisasi. Tetapi kesempatan untuk berbagi, yaitu dalam hal Shared Things, Shared Sayings, Shared doing dan share feelings.
Shared Things
Dapat berupa pembentukan artefak-artefak yang bisa dibagikan untuk seluruh karyawan, bisa berupa buku organisasi, ataupun simbol material lain yang digunakan dalam proses sosialisasi. Dari sini mereka bisa membaca, memberikan pengetahuan awal tentang budaya yang sedang dibangun .
Shared Sayings
Proses transfer informasi kedua yang paling efektif, dalam ukuran kuantitas, untuk mensosialisasikan, serta memberikan pemahaman kepada karyawan adalah dengan proses berbicara di dalam sebuah forum. Desain forum yang formal yang didesain bertahap, mulai dari senior leader hingga selanjutnya ke jabatan paling bawah. Pastikan dalam forum tersebut ada workshop tentang implementasi budaya perusahaan yang baru dan apa manfaat bagi karyawan. Dalam format in class ini ada kesempatan untuk proses diskusi, dimana orang-orang dapat menanyakan kejelasan tentang budaya perusahaan. Tetapi perlu diperhatikan, ada beberapa persyaratan yang harus dilakukan dalam menjalankan proses sosialisasi dengan cara ini, karena metode ini cukup sensitif, terutama bagi orang-orang yang merasa kurang diperhatikan selama ini oleh perusahaan.
Langkah yang harus disusun :
1. Memperhatikan dukungan karyawan. Dalam setiap perubahan selalu ada resistensi / penolakan oleh beberapa pihak. Jika boleh dibagi, terdapat tiga area besar sikap orang terhadap perubahan, yaitu :
a. Area pertama, adalah orang-orang yang respect dan percaya terhadap perubahan, atau memandang bahwa perubahan itu menuju ke arah yang lebih baik.
b. Area kedua, adalah orang-orang yang berada pada zona status quo, area dimana orang-orang tersebut sudah tidak memperdulikan ada atau tidaknya perubahan. Dikatakan menerima tidak, menolakpun juga tidak.
c. Area ketiga, adalah orang-orang yang melakukan resistensi. Yang perlu dipahami, alasan orang tersebut kenapa melakukan resistensi / penolakan, menurut Herbert Kaufman dalam bukunya The Limits of Organization Change (1985 : 8) mengemukakan bahwa kegagalan untuk mengadakan perubahan di dalam organisasi dapat disebabkan oleh beberapa faktor.
Faktor – faktor tersebut dikelompokkannya menjadi tiga kategori besar, yaitu :
1. Hasrat untuk mempertahankan kestabilan hidup bersama (acknowledged collective benefits of stavility).
Dengan aturan yang sudah melembaga pada suatu organisasi telah terbentuk pola perilaku yang sudah disepakati dan tampil sebagai iklim kerja yang mewarnai kehidupan organisasi yang menciptakan kehidupan yang stabil dengan rasa aman dan silaturahmi yang baik antara individu yang terkait. Oleh karena itu adanya perubahan dikhawatirkan akan menimbulkan gangguan dan keresahan sehingga mengundnag ketidakstabilan organisasi.
2. Pertimbangan atas lawan – lawan yang mungkin dihadapi untuk mengadakan perubahan (calculated opposition to change).
Kelompok oposisi atas perubahan akan datang dari dalam maupun dari luar organisasi, baik secara perseorangan maupun berkelompok. Munculnya kaum oposisi ini dapat didasarkan pada berbagai alasan, antara lain :
1) Untuk melindungi keadaan yang dipandang sudah baik dan sedang dinikmati (prevailing advantage).
2) Untuk melindungi kualitas yang sudah ada (protection of quality) dalam hal ini dikhawatirkan perubahan di dalam organisasi akan menimbulkan gangguan terhadap kualitas produk yang sudah dicapai.
3) Kekhawatiran akan biaya perubahan (psyhic cost of change). Dalam hal ini perubahan organisasi terhambat oleh pertimbangan manfaat perubahan dibandingkan dengan biaya yang harus digunakan.
3. Ketidakmampuan untuk mengadakan perubahan (inability to change).
1) Pembuatan Mental (Mental Blinders)
Pembuatan mental di dalam organsiasi antara lain melalui perilaku secara terprogram melalui metoda yang sama dengan pengarahan, instruksi atau indoktrinasi sehingga tertanam pada semua anggota organisasi. Pengisian posisi – posisi di dalam organisasi didasarkan pada pemilihan tidak hanya atas keahlian.
2) Hambatan Sistem (Systemic Obstacles)
Hambatan sistem merupakan hambatan internal dalam diri orang – orang dalam organisasi yang membentuk karena pengendalian dari luar diri orang – orang tersebut, yaitu dari sistem organisaso. Hambatan – hambatan tersebut meliputi :
a) Keterbatasan Sumber Daya (Resource Limitation)
Hal ini terjadi karena terbatasnya sumber daya yang dimiliki, baik sumber daya alam maupun sumber daya manusia, sehingga tidak mampu membiayai perubahan yang diharapkan.
b) Terperangkap oleh Biaya (Sunk Cost)
Perubahan yang diharapkan dilaksanakan dalam organisasi dapat terhambar karena organisasi terperangkap oleh biaya yang harus dikeluarkan untuk kekayaan yang tidak dapat dengan cepat diuangkan sebagai akibat investasi pada kekayaan tetap yang memberikan hasil (ROI) tidak sesuai dengan yang diharapkan.
c) Akumulasi hambatan – hambatan perilaku yang bersifat resmi (Accumulations of Official Constrain’s on Behavior)
Hambatan – hambatan ini dapat berupa status, ketentuan – ketentuan hukum, hubungan personal di dalam struktur organisasi, dan lain – lain, yang semakin berpengalaman suatu organisasi, semakin berkembang ketentuan – ketentuan resmi yang melembaga dan membatasi perilaku individu – individu di dalamnya.
d) Hambaran – hambatan perilaku yang tidak resmi dan tidak direncanakan.
Hambatan ini datang melalui kelompok informal di dalam organisasi formal, berupa antara lain sabotase bawahan terhadap program perubahan.
e) Kesepakatan antar Organisasi
Perubahan organisasi juga dapat terhambat oleh kesepakatan organsiasi dengan organisasi lain. Kesepakatan ini dapat berupa kontak kerja, kesepakatan dengan pelanggan (perjanjian jual – beli), kesepakatan dengan pesaing (melalui OPS), kesepakatan untuk mematuhi ketentuan pemerintah, dan lain – lain.
Untuk dapat menjalankan perubahan di dalam organisasi, maka hambatan–hambatan tersebut harus dapat diantisipasi dan diatasi, mengingat bahwa perubahan di dalam organisasi merupakan tuntutan yang perlu dilaksanakan seiring dengan laju dinamika masyarakat tempat organisasi berada. Perubahan ini dapat dilaksanakan sebagai keharusan atau secara sekarela (involuntary change or voluntary change)
Untuk mensiasati orang-orang yang berada pada area resisten, kita perlu butuh waktu yang lama, salah satunya dengan menunjukkan bahwa apa yang dikhawatirkan oleh orang-orang yang resisten tersebut tidak benar, tetapi itu butuh proses. Kita sedikit bergeser pada orang-orang yang lebih mudah kita ajak untuk dapat ikut mensosialisasikan budaya perusahaan.
Selain area resisten tadi, ada area dengan orang-orang yang berada di status quo, inilah orang-orang yang lebih mudah untuk dipersuasi, diberikan pemahaman serta diminta untuk ikut mensukseskan pelaksanaan sosialisasi budaya ini. Pendekatan yang bagus juga tidak dilakukan di dalam forum, tetapi persuasi mereka sebelum forum, ketika berada di luar forum. sehingga ketika berada di dalam forum, akan sangat mengesankan jika orang-orang yang telah dikenal selalu berada pada status quo ini, pada kesempatan tersebut ikut respect akan program sosialisasi budaya ini.
Tentunya, kita juga tidak menyia-nyiakan orang-orang yang berada di area yang mendukung program sosialisasi budaya perusahaan ini, berikan peran, sekecil apapun, buat mereka merasa terlibat akan proses sosialisasi ini, dan berikan apresiasi atas segala usaha serta bantuan orang-orang yang respect tersebut.
2. Proses sosialisasi dengan cara tatap muka ini sangat efektif jika dilakukan oleh para senior leader, karena pada prinsipnya proses sosialisasi ini lebih mengedepankan proses Top Down, bukan Bottom Up. Ketika orang yang berbicara adalah orang yang disegani / dihormati baik sebagai atasan atau mungkin sebagai orang yang lebih senior, orang akan lebih menerima perubahan tersebut (terutama untuk perusahaan yang masih mengusung budaya Paternalistik).
3. Metode sosialisasi tatap muka yang digunakan lebih mengutamakan proses diskusi persuasi, mengajak, merangkul dan jauhi penyampaian yang bersifat men-jugde sebuah perilaku itu benar dan salah. Utamakan bahwa orang lain bisa respect dengan apa yang disampaikan, agar orang lain respect, maka penyampai pesanpun harus dapat respect dan empati terhadap peserta.
Libatkan orang-orang yang dipandang “senior” yang respect dengan budaya perusahaan untuk ikut serta mensosialisasikan budaya perusahaan.

Shared Doings
Selain menciptakan artefact-artefact berupa benda-benda yang nyata, semacam spanduk, slogan, lalu atribut material yang bisa diberikan dan dibaca oleh setiap pegawai, ada aktivitas sosialisasi lain yang juga sangat efektif, yaitu dengan memberikan contoh langsung aktivitas yang menggambarkan budaya yang sedang disosialisasikan. Dengan melihat langsung, orang lain akan mendapat kesempatan untuk mengobservasi apakah aktivitas yang dilakukan tersebut pantas atau tidak, bisa ditiru atau tidak. Seseorang akan meniru aktivitas orang lain karena konsekuensi yang diterima oleh orang lain yang menampilkan perilaku tersebut positif, dalam pandangan orang tersebut (Albert Bandura).
Sehingga disini perlu disusun sebuah langkah untuk dapat menciptakan tokoh-tokoh yang bisa menjadi role model dalam mengimplementasikan budaya perusahaan. Ada dua langkah yang bisa dilakukan untuk menciptakan role model, yaitu :
1. Role model yang sebelumnya sudah ada, bisa dari para senoir leader ataupun orang-orang senior. Kita tinggal men-trease dan memberikan penguatan.
2. Membentuk orang-orang yang bersedia menjadi role model
Tokoh tersebut diperoleh dari orang-orang senior, serta para leader yang berada pada area respect. Ada enam hal yang bisa dilakukan agar mereka bisa menjadi role model yang efektif. Pertama, berikan pemahaman, serta gambaran perilaku dari budaya yang sedang disosialisasikan. Kedua, berikan dorongan, keyakinan bahwa mereka bisa menjadi role model, “sebelum kita mau merubah orang lain, rubahlah diri kita, dengan perubahan yang terjadi pada diri kita, akan mengundang perhatian orang lain untuk berubah”. Ketiga, pastikan setiap role model ada satu atau dua aspek budaya yang benar-benar dipahami dan bisa diterapkan (lebih bagus jika mereka merasa bahwa aktivitas tersebut sudah mereka lakukan sebelumnya). Tidak perlu untuk menerapkan keseluruhan budaya, tetapi cukup satu atau dua budaya, tetapi benar-benar bisa dilakukan. Keempat, berikan kesempatan mereka untuk menerapkan aktivitas tersebut dilingkungan kerja, dalam setiap aktivitas kerja. Kelima, lakukan proses self evaluasi, terutama progress tanggapan lingkungan. Keenam, berikan apresiasi / penghargaan bagi para role model tersebut.
Shared Feelings
Sebarkan pemahaman bahwa perusahaan kita adalah perusahaan yang kuat, SDM kita juga adalah orang-orang yang spesial, hal tersebut terbukti dari sekian banyak krisis yang terjadi di perusahaan dapat dilalui dengan baik. Perubahan apapun dapat dilakukan dengan baik. Sebarkan paham tersebut kesemua karyawan. Intinya, sebarkan hawa positif dilingkungan kerja, eliminer hawa pesimistis, hawa skeptis. Sebarkan pemahaman bahwa saat ini adalah saat yang tepat untuk melakukan perubahan. Ketika hawa positif tersebut dapat dibangun dengan baik, artinya hawa positif tersebut lebih dominan muncul dari pada hawa negatif, maka orang-orang secara tidak langsung akan merasakan hawa tersebut. Dan dari situ, mereka akan bisa merasakan efek dari budaya perusahaan tersebut.

Tahap 3. Proses Internalisasi Budaya Perusahaan
Tahapan internalisasi adalah tahapan yang terpenting dalam penanaman budaya perusahaan. Karena pada tahap inilah budaya tersebut harus benra-benar dapat di-driven menjadi perilaku, bukan hanya sekedar nilai-nilai, bukan sesuatu yang intangible, tetapi merupakan aspek yang tangible.
Butuh proses yang continue, konsisten dan ajek. Karena dengan adanya kontinuitas, konsisten dan ajek dalam men-drive budaya, menunjukkan keseriusan pihak manajemen perusahaan dalam membuat sebuah kebijakan. Disinilah peran Corporate Culture Management memegang peran yang sangat krusial.
Terdapat beberapa langkah yang dilakukan selama proses internalisasi dan langkah ini akan selalu berputar, tidak hanya berhenti satu putaran saja.
1. Awareness
2. Understanding
3. Acceptence
Dalam proses internalisasi ini, ketiga langkah tersebut dievaluasi dalam aktivitas kerja sehari-hari.
4. Implementation
Buat rangkaian aktivitas, yang memungkinkan seorang karyawan dapat menyusun (bukan hanya sekedar menggambarkan) budaya perusahaan dalam sebuah aktivitas konkret yang dapat diterapkan di lingkungan kerjanya.
5. Assesment
Pastikan ada proses pengukuran yang baku dan valid, artinya alat ukur tersebut dapat membedakan mana yang telah melaksanakan budaya dengan baik dan mana yang belum. Sehingga, faktor penilaian tersebut dapat se-obyektif mungkin menilai seseorang dalam menerapkan budaya perusahaan.
6. Appresiation
Berikan penghargaan yang tinggi kepada orang-orang yang telah mencapai mengalami penaikan pada penilaian corporate culture index. Nantinya skoring nilai budaya itu yang akan dikorelasikan dengan skoring KPI setiap karyawan..

Minggu, 14 Desember 2008

Community of Practice CoP

Setelah aktivitas knowledge sharing bergulir, seluruh kegiatan tersebut akan lebih mudah pelaksaannya jika dibentuk apa yang dinamakan komunitas praktisi (Community of Practice). CoP merupakan forum yang mempertemukan semua fungsi dalam organisasi untuk menggodok berbagai knowledge dengan tujuan memecahkan berbagai masalah dan menghasilkan inovasi perusahaan. Sesuai dengan namanya, CoP berorientasi pada pertukaran pengalaman praktik-praktik (best practices) terbaik yang telah dilakukan oleh karyawan. Oleh karena itu partisipasi aktif anggota sanagt menentukan kualitas dari CoP

“Community of Practice” adalah komunitas terdiri dari sekelompok orang, yang memiliki passion yang sama terhadap sesuatu hal yang mereka kerjakan, dan melakukan interaksi secara teratur untuk belajar bersama guna membantu pekerjaan mereka tersebut.

Wenger 2004

Kelompok ini adalah sekumpulan orang yang mengorganisir dirinya baik secara sosial maupun profesional lintas organisasi dengan tujuan untuk mengembangkan kemampuan baru. Dalam masyarakat Indonesia, kelompok ini cukup banyak dan berdiri sesuai dengan profesi tertentu. Di Jepang, Eropa Barat dan Amerika Serikat, kelompok-kelpompok ini dimanfaatkan oleh perusahaan-perusahaan besar untuk meningkatkan produktifitas perusahaan. Penelitian Seely dan Brown tentang Xerox mendeskripsikan bagaiman kru-kru service mesin fotocopy saling bertukar pengalaman tentang bagaimana mendiagnosa dan menangani masalah yang baru. Hasil-hasil pengalaman mereka ini kemudian digunakan perusahaan untuk medesain mesin-mesin fotocopy yang baru dalam menghadapi persaingan dengan perusahaan lain.

Tujuan CoP

Pelaksanaan CoP ini memiliki tujuan untuk dapat menangkap, menyaring, mengelola segala informasi/ pengetahuan individu (tacit knowledge) dalam organisasi yang diperoleh berkenaan dengan problem dalam proses bisnis untuk dipecahkan bersama dan kembali disebarluaskan agar dapat menjadi pengetahuan bersama (explicit knowledge).

Selain itu CoP juga dapat difungsikan sebagai suatu media untuk pengembangan (Improvement) pengetahuan, sehingga dapat dimunculkan “best practice-best practice” yang sangat membantu dalam operasional kerja. Seperti yang dijelaskan dalam gambar dibawah ini.

Gambar : Tujuan CoP

Sedangkan jika dilihat dari sifat keanggotaan, Community of Practice ini memiliki sifat keanggotaan sukarela (berdasarkan inisiatif pribadi), dimana yang dapat mengikat komunitas ini adalah dengan ditumbuhkannya semangat, komitmen, dan pengidentifikasian ahli-ahli dalam kelompok. CoP ini akan terus berjalan selama ada keinginan untuk tetap mempertahankan komunitas ini, hal tersebut bisa dari pihak perusahaan ataupun dari para anggota komunitas.